Desa Sentra Pembibitan Dai di Demak (2-Habis)

Desa Sentra Pembibitan Dai di Demak (2-Habis)
Dapat Berkah Syekh dari Hadramaut

MENGAPA dua desa di Mutih, Kecamatan Wedung, Demak dikenal sebagai desa santri dan ulama? Sekretaris Desa Mutih Kulon Naimul Huda menduga, banyaknya warga Mutih yang menjadi dai di luar daerah, tak lepas dari berkah Syekh Maulana Abdurrahman Albar.
Siapakah dia? Syekh dari Hadramaut Yaman itu dipercaya sebagai cikal bakal Desa Mutih. Sebuah kuburan tua yang terdapat di tengah persawahan desa tersebut dipercaya sebagai makam syekh tersebut. Makam itu dikenal penduduk setempat sebagai Burwatu (kubur watu). Dari kisah Syekh Maulana pulalah nama Mutih didapatkan.
KH Abdullah Manshur Sanusi, pengasuh Pesantren Darut Tauhid Alalawiyah Assanusiyah menceritakan, sang syekh hidup sezaman dengan Ratu Kalinyamat yang memerintah Jepara, sekitar abad ke-16. Diceritakan, Kalinyamat yang oleh penulis Portugis Diego de Conto disebut sebagai “Rainha de Jepara senhora pederose e rica” yakni Ratu Jepara seorang wanita yang sangat berkuasa itu memiliki hobi berburu di hutan. Suatu ketika, syekh menemukan kijang milik Ratu Kalinyamat. Karenanya, sang ratu hendak memberikan hadiah kepada syekh. Ia pun mengutus para punggawanya untuk mendatangi syekh.”Tuwasana! (Berilah hadiah!),” sabda Ratu Kalinyamat, seperti disampaikan Kiai Manshur.
Rupanya, kata Kiai Manshur, pemimpin prajurit itu agak suda pangrungon. Ia salah mendengar dan menafsirkan perintah. Sependengarannya, ratu memerintahkan “Tewasana! (Bunuhlah!).” Maka, ia pun berangkat ke Demak dengan niat menghabisi Syekh Maulana. Misi sukses dilaksanakan, dan syekh pun tewas di tangan prajurit itu. Tapi, apa yang terjadi? Atas kehendak Allah, konon, darah yang mengalir dari diri syekh tidak berwarna merah seperti lazimnya, melainkan berwarna putih. Dari kisah itu muncullah nama Desa Mutih, yang dalam perkembangannya menjadi Mutih Wetan dan Mutih Kulon.
Makanya setiap habis panen, penduduk desa menggelar haul cikal bakal desa tersebut. Ali, putra KH Mansyur menceritakan, saat haul persawahan tersebut akan dipenuhi oleh ribuan peziarah. Pada umumnya, mereka berdatangan dari desa-desa sekitar Mutih Kulon. Namun, tak sedikit yang datang dari luar Demak, dan bahkan luar Jawa Tengah.
“Biasanya, para dai asal Mutih Kulon yang berdomisili di Jakarta akan pulang. Mereka mengajak serta habaib (keturunan Nabi Muhammad Saw-red) dari ibukota untuk menziarahi makam Syekh Maulana,” tutur dia.
Ilmu Agama
Cukupkah berkah yang konon diperoleh dari sang Syekh? Tentu saja tak cukup. Kesadaran warga Mutih untuk membekali diri dengan ilmu-ilmu agama yang memadai juga sangat tinggi.
“Bekal minimal yang mesti dimiliki oleh calon dai adalah pengetahuan dasar tentang agama, mulai dari aqidah akhlaq, fikih, Alquran dan Alhadis, tafsir, nahwu dan sharaf, hingga tasawuf. Pengetahuan yang diperoleh di pesantren, biasanya memberikan jawaban untuk itu,” jelas Manshur.
Berkah yang diperoleh warga Mutih ternyata tak cuma menjadi dai. Banyak pula warga Mutih yang menekuni profesi sebagai tabib.
“Umumnya, mereka memadukan pengobatan tradisional dengan ajaran yang didapatkan dari kitab kuning (kitab klasik yang banyak dipelajari di pesantren-red). Kalau menurut istilah sekarang, kerap disebut terapi ilahiyah.”
Seperti juga dai, para tabib asal Mutih itu berkiprah di banyak tempat, di kota-kota besar di Indonesia. Huda mencontohkan Tabib Dain dan Tabib Aulia yang membuka praktik di Yogyakarta. Bahkan kabarnya, tabib asal Mutih memiliki nama cukup populer dan dipercaya mujarab. Sampai-sampai Naimul Huda dengan sangat yakin mengatakan, “Kalau Sampeyan bertemu tabib terkenal yang mengaku berasal dari Demak, coba tanya saja. Biasanya dari Mutih.”(Achiar M Permana-78)

Desa Sentra Pembibitan Dai di Demak (2-Habis)Dapat Berkah Syekh dari HadramautMENGAPA dua desa di Mutih, Kecamatan Wedung, Demak dikenal sebagai desa santri dan ulama? Sekretaris Desa Mutih Kulon Naimul Huda menduga, banyaknya warga Mutih yang menjadi dai di luar daerah, tak lepas dari berkah Syekh Maulana Abdurrahman Albar.
Siapakah dia? Syekh dari Hadramaut Yaman itu dipercaya sebagai cikal bakal Desa Mutih. Sebuah kuburan tua yang terdapat di tengah persawahan desa tersebut dipercaya sebagai makam syekh tersebut. Makam itu dikenal penduduk setempat sebagai Burwatu (kubur watu). Dari kisah Syekh Maulana pulalah nama Mutih didapatkan.
KH Abdullah Manshur Sanusi, pengasuh Pesantren Darut Tauhid Alalawiyah Assanusiyah menceritakan, sang syekh hidup sezaman dengan Ratu Kalinyamat yang memerintah Jepara, sekitar abad ke-16. Diceritakan, Kalinyamat yang oleh penulis Portugis Diego de Conto disebut sebagai “Rainha de Jepara senhora pederose e rica” yakni Ratu Jepara seorang wanita yang sangat berkuasa itu memiliki hobi berburu di hutan. Suatu ketika, syekh menemukan kijang milik Ratu Kalinyamat. Karenanya, sang ratu hendak memberikan hadiah kepada syekh. Ia pun mengutus para punggawanya untuk mendatangi syekh.”Tuwasana! (Berilah hadiah!),” sabda Ratu Kalinyamat, seperti disampaikan Kiai Manshur.
Rupanya, kata Kiai Manshur, pemimpin prajurit itu agak suda pangrungon. Ia salah mendengar dan menafsirkan perintah. Sependengarannya, ratu memerintahkan “Tewasana! (Bunuhlah!).” Maka, ia pun berangkat ke Demak dengan niat menghabisi Syekh Maulana. Misi sukses dilaksanakan, dan syekh pun tewas di tangan prajurit itu. Tapi, apa yang terjadi? Atas kehendak Allah, konon, darah yang mengalir dari diri syekh tidak berwarna merah seperti lazimnya, melainkan berwarna putih. Dari kisah itu muncullah nama Desa Mutih, yang dalam perkembangannya menjadi Mutih Wetan dan Mutih Kulon.
Makanya setiap habis panen, penduduk desa menggelar haul cikal bakal desa tersebut. Ali, putra KH Mansyur menceritakan, saat haul persawahan tersebut akan dipenuhi oleh ribuan peziarah. Pada umumnya, mereka berdatangan dari desa-desa sekitar Mutih Kulon. Namun, tak sedikit yang datang dari luar Demak, dan bahkan luar Jawa Tengah.
“Biasanya, para dai asal Mutih Kulon yang berdomisili di Jakarta akan pulang. Mereka mengajak serta habaib (keturunan Nabi Muhammad Saw-red) dari ibukota untuk menziarahi makam Syekh Maulana,” tutur dia.
Ilmu Agama
Cukupkah berkah yang konon diperoleh dari sang Syekh? Tentu saja tak cukup. Kesadaran warga Mutih untuk membekali diri dengan ilmu-ilmu agama yang memadai juga sangat tinggi.
“Bekal minimal yang mesti dimiliki oleh calon dai adalah pengetahuan dasar tentang agama, mulai dari aqidah akhlaq, fikih, Alquran dan Alhadis, tafsir, nahwu dan sharaf, hingga tasawuf. Pengetahuan yang diperoleh di pesantren, biasanya memberikan jawaban untuk itu,” jelas Manshur.
Berkah yang diperoleh warga Mutih ternyata tak cuma menjadi dai. Banyak pula warga Mutih yang menekuni profesi sebagai tabib.
“Umumnya, mereka memadukan pengobatan tradisional dengan ajaran yang didapatkan dari kitab kuning (kitab klasik yang banyak dipelajari di pesantren-red). Kalau menurut istilah sekarang, kerap disebut terapi ilahiyah.”
Seperti juga dai, para tabib asal Mutih itu berkiprah di banyak tempat, di kota-kota besar di Indonesia. Huda mencontohkan Tabib Dain dan Tabib Aulia yang membuka praktik di Yogyakarta. Bahkan kabarnya, tabib asal Mutih memiliki nama cukup populer dan dipercaya mujarab. Sampai-sampai Naimul Huda dengan sangat yakin mengatakan, “Kalau Sampeyan bertemu tabib terkenal yang mengaku berasal dari Demak, coba tanya saja. Biasanya dari Mutih.”(Achiar M Permana-78)

Desa Sentra Pembibitan Dai di Demak (1)

Desa Sentra Pembibitan Dai di Demak (1)

”Asal Bisa Alif Ba Bengkong Kemiri Kopong”

Desa Mutih Wetan dan Desa Mutih Kulon, Kecamatan Wedung, Kabupaten Demak boleh dibilang sebagai sentra dai. Dari kedua desa tersebut mengalir puluhan dan bahkan ratusan dai ke berbagai daerah. Mereka tak hanya menjadi dai lokal di desa-desa Demak dan sekitar, tapi juga merambah hingga ke Semarang, Yogyakarta, dan bahkan Jakarta. Wartawan Suara Merdeka Achiar M Permana menuliskan hasil penelusurannya.

KEMARAU yang berkepanjangan terasa benar di Mutih. Sejauh mata memandang, yang terlihat adalah hamparan persawahan yang menyisakan rengkah. Pangkal batang padi sisa panen yang masih terpacak di sawah-sawah itu menerakan warna cokelat yang kering. Begitu pula, sungai di kanan kiri jalan yang lebih terlihat seperti jalanan. Kerontang.

Dari pusat kota Demak, Desa Mutih Wetan dan Desa Mutih Kulon berjarak sekitar 30 km. Kedua desa itu berbatasan langsung dengan Kecamatan Welahan, Jepara. Kendati terletak di tepi Sungai Serang, kekeringan cukup memberi warna nyata pada kedua desa tersebut.

Di desa itulah, dai dan para ustad dilahirkan dan dibesarkan. Sudah menjadi semacam identitas sejak lama, Desa Mutih adalah desa santri, desa kiai. Dari Wedung mereka melanglang ke pelbagai daerah, menyebarkan syiar dengan cara masing-masing.

Niamul Huda, Sekretaris Desa Mutih Kulon menuturkan, pada awalnya tidak semua yang keluar daerah menyengaja untuk menjadi mubalig atau dai. Mereka datang ke tempat baru dengan niatan mencari penghidupan. Warga Mutih umumnya berangkat merantau setelah rendengan, serampung musim tanam padi. Bagian terbesar adalah menjadi pedagang buah, sebuah pekerjaan lazim bagi warga Mutih selain menjadi petani. Selain itu, ada pula yang bekerja sebagai buruh bangunan, tukang ojek, tukang becak, dan sebagainya.

Kalau kemudian mereka terpanggil untuk menjadi dai, hal itu karena bekal ilmu agama yang relatif memadai. Galibnya penduduk Mutih, mereka pernah menempuh hidup di pesantren beberapa tahun. Selepas dari madrasah tsanawiyah (MTs), biasanya mereka berpindah-pindah dari satu pesantren ke pesantren lain. Rasanya tak cukup dihitung dengan jari jumlah warga Mutih yang pernah nyantri di Pesantren Termas Pacitan, Lirboyo Kediri, Almunawir Krapyak, Tebuireng Jombang, dan pesantren-pesantren besar lain.

Paling kurang, mereka bisa membaca dan menulis Alquran dengan baik. Dan, hal itu merupakan modal minimal untuk menjadi ustad. ”Ibaratnya, bila sudah tahu alif ba bengkong kemiri kopong alias sudah bisa mengaji maka jadilah ustad. Dari mengajar mengaji di sekitar tempat tinggal, mereka kemudian dipanggil untuk memberikan mauidhah hasanah di pelbagai tempat. dan, jadilah merek mubalig atau dai,” ujar Huda yang sejak dua tahun lalu menjadi Pejabat Sementara (Pjs) Kepala Desa Mutih Kulon.

Dia mencontohkan, pengalaman empiriknya saat kuliah menegaskan tentang diperhitungkannya alif ba bengkong orang Mutih. Saat kuliah di IKIP Semarang (kini Unnes) pada akhir dekade 1980-an, dia dipercaya untuk menjadi pengurus masjid di kawasan Petompon, tak jauh dari kampusnya. Hal itu, tutur Huda, tak lain karena dia orang Mutih yang dipandang bisa mengaji. Kebetulan, dia memang mutakharij (alumnus) Pesantren Darut Tauhid Alalawiyah Assanusiyah asuhan KH Abdullah Manshur Sanusi di desa tersebut.

Dai Lokal

Pernyataan bernada sama juga disampaikan oleh Kepala Desa Mutih Wetan Asmuni HM yang ditemui pada kesempatan terpisah. Dia menyebutkan, tak kurang dari 100 dai asal desanya yang kini berdakwah di pelbagai kota. Ada yang menjadi pendakwah di Semarang, Yogyakarta, atau Jakarta.

”Akan tetapi, sebagian besar ya dai pada tingkat lokal. Artinya, mereka dipandang sebagai ustad di lingkungan tempat tinggalnya. Jangan terus dibayangkan, semua menjadi mubalig yang sudah kondang yang dipanggil ke mana-mana,” papar Asmuni.

Sebelum disibukkan oleh pelbagai urusan sebagai kepala desa, Asmuni juga memiliki rekam jejak sebagai pendakwah. Alumnus Pesantren Futuhiyah Mranggen dan Termas Pacitan tersebut mengaku baru menjadi dai kelas lokal. ”Paling jauh, ya cuma sampai Solo atau Yogyakarta,” ujar dia.

Di luar mereka yang ”tak sengaja” menjadi dai, ada pula yang memang semula memang ingin menjadi pendakwah. Dia menyebut nama KH Ali Murtadlo (almarhum) yang sering memberikan ceramah hingga ke luar daerah. Kiai Murtadlo adalah adik kandung KH Manshur. Sepeninggal Kiai Murtadlo, agaknya sinar dai dari Mutih agak meredup.

Kalaulah hendak disebut, sekarang masih ada Imam Dakhwan. Karena pekerjaannya sebagai dosen Universitas Ibnu Khaldun Jakarta, dia kini menetap di Ibu Kota. Pada Lebaran kemarin, seperti para dai asal Mutih lainnya, dia mudik ke desa tersebut. Jumat (19/11) lalu, Dakhwan kembali ke Jakarta. ”Maaf, tidak bisa berlama-lama di desa. Sebab, ditunggu jamaah di tempat lain,” ujar Dakhwan seperti ditirukan Asmuni.

Selain dia, ada pula Solikhul Falah yang anggota Dewan atau KH Manshur, pengasuh Pesantren Darut Tauhid Mutih Kulon. Dia juga mengasuh MI, MTs, dan MA Ianatut Tulab serta memimpin tarekat Naqsabandiyah. Selain itu, Kiai Manshur juga kerap diundang untuk memberikan ceramah di pelbagai tempat.(Achiar M Permana-78j)